Senin, 04 Mei 2015

Rabu, 16 September 2009

TAPANULI UTARA PROSPEK MENJADI SENTRA PRODUKSI DAN INDUSTRI GAHARU




Pohon gaharu yang dikenal dengan sebutan “hau alim” di Tapanuli, Aceh, dan Sumatra Barat ternyata ditemukan tumbuh alamiah di Tapanuli Utara seperti kecamatan luat Pahae, Adian Koting, Parmonangan dll. Hau Alim yang menghasilkan produk kayu gaharu bernilai ekonomi tinggi ini (Rp.30 juta/Kg, kualitas super) telah tumbuh sejak ratusan tahun lalu (Hou 1960), karena pada masa hidup para ompu sijolo tubu, hau alim telah lazim digunakan sebagai obat tradisional yang ampuh seperti, obat ibu-ibu yang habis melahirkan (vitalitas), cacar, malaria, sakit perut, anti bisa digigit ular dan serangga berbisa, paru-paru, asma, dan untuk ritual kepercayaan untuk memuliakan “Mulajadi Nabolon”.

Hasil pengamatan terkini melalui acara “Pelatihan Petani dan Pemuda Tani se Tapanuli Utara pada tgl 22 Agusrtus – 12 September 2009 membuktikan bahwa ratusan pohon gaharu yang masuk marga Aquilari., famili Thymelaeaceae tersebut tumbuh alamiah dan bercampur di kebun-kebun karet milik rakyat.

Hau Alim merupakan pohon yang sangat khusus dan penuh spiritual bagi seluruh agama di dunia ini. Kitab injil kristen memuat beberapa ayat yang memuat kesakralan penggunaan gaharu. Bilangan 24; 6 tertulis Bagaikan Pohon Gaharu Yang ditanam Tuhan, Johannes 19: 39: Nicodemus membawa gaharu untuk meminyaki tubuh Yesus. Bahkan tersiar kabar bahwa, minyak gaharu yang digunakan meminyaki kaki Yesus saat disalibkan berasal dari Barus. Dan masih banyak lagi ayat yang memuat keharuman dupa gaharu tertera dalam kitab-kitab suci Alkitab dan Al’Quran. Agama Budha, dan Hindu menggunakan bahan gaharu sebagai hio untuk ritual keagamaan. Masyarakat Islam, khususnya bangsa-bangsa di Timur Tengah menggunakan minyak gaharu untuk meminyaki batu Azwal aswat yang berada di tengah kabah. Namun di kristen, hanya umat katholik yang menggunakan dupa gaharu dalam upacara keagamaan.

Masalah utama yang terjadi adalah masyarakat Tapanuli Utara (TAPUT), tidak mengenal pohon gaharu, kegunaan dan tingginya nilai ekonomi gaharu tersebut. Namun pohon tersebut tetap dibiarkan tumbuh liar di kebun karet dan hutan rakyat lainnya. Selama ini, pohon gaharu hanya dimanfaatkan sebagai kayu bakar atau kulitnya dijual untuk digunakan sebagai bahan buku “laklak” atau direbus sebagai racun untuk menuba ikan di sungai. Oleh sebab itu pohon gaharu di Pahae, populer dengan sebutan “laklak tuba” (komunikasi pribadi dengan Gamaludin Tambunan, Putra Pahae). Sejak ratusan tahun yang lalu, pohon gaharu dibiarkan dipanen secara gratis oleh pemburu gaharu yang umumnya datang dari Tapanuli Selatan. Sangat ironis, karena masyarakat Pahae tidak mengetahui informasi tentang manfaat dan nilai ekonomis gaharu yang sangat tinggi.

Gaharu adalah hasil hutan non-kayu yang di ekspor. Pada perdagangan internasional gaharu populer dengan sebutan agarwood, aloe wood, dan eagle wood, oud (Timur tengah), dan Cing (Cina). Gaharu memiliki nilai ekonomi sangat tinggi, sehingga berperan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang hidup di sekitar hutan (tombak) serta sumber pendapatan devisa Negara. Harga per kg gaharu mutu super dapat mencapai sekitar Rp.30 juta/kg, sedangkan harga minyak gaharu mencapai US$ 100 per tola/sekitar 11.8 ml (ASGARIN, 2009).

Yamada (1995) memperkirakan sebanyak 2000 ton/tahun gaharu asal Indonesia memenuhi pusat perdagangan gaharu dunia di Singapura. Yamada juga menjelaskan bahwa dari seluruh gaharu yang diperdagangkan di dunia, sebanyak 70% berasal dari Indonesia dan sisanya 30% dari negara-negara Asia Selatan lainnya. Namun sejak satu dekade terakhir jumlah eksport gaharu dari Indonesia serta negara-negara penghasil gaharu lainnya sudah tidak mencukupi permintaan pasar dunia. Bahkan quota yang ditetapkan terhadap Indonesia dalam konferensi CITES II di Florida pada tahun 1994 sebanyak 250 ton per tahun tidak tercapai lagi. Bahkan pada tahun 2005, Indonesia hanya diberi kuota sebesar 125 ton/tahun.
Eksploitasi gaharu yang disertai pembalakan hutan alam untuk tujuan industri di wilayah Indonesia yang lain telah mengurangi luasan areal hutan alam, kelangkaan pohon gaharu, dan hilangnya pohon (genotipe) unggul. Kelangkaan ini menyebabkan gaharu masuk kedalam IUCN Red List sejak tahun 1995 dan gaharu ditempatkan dalam CITES appendix II. Agar ekspor dapat sinambung dan perdagangannya tidak diatur dalam batasan quota, Indonesia perlu mengupayakan pengembangan pohon gaharu melalui usaha budidaya.

Tingginya harga gaharu ini disebabkan karena gaharu khususnya kualitas atas (Super, AB, BC) merupakan kebutuhan pokok baik untuk acara ritual ke agamaan maupun untuk wangi-wangian di negara-negara Timur Tengah. Sebesar 90% ekspor gaharu ditujukan ke negara- negara di Timur Tengah sedangkan untuk kelas menengah kebawah kenegara-negara Asia seperti Taiwan, Cina, Korea, dan Jepang, yang digunakan untuk produksi minyak dan acara -acara ritual dalam bentuk Hio (ASGARIN, 2005). Perdagangan dan pemanfaatan gaharu lainnya berdasarkan data ekspor adalah untuk bahan baku industri kosmetika seperti parfum, minyak, sabun, lotions, pembersih muka serta obat-obatan seperti obat sakit perut, rhematik, malaria, asma, TBC, kanker, tonikum, dan aroma terapi.

Di Tapanuli Utara, pohon gaharu yang diidentifikasi sebagai A. malaccensis danA. microcarpa ditemukan tumbuh alami dan bercampur di kebun karet milik rakyat. Faktor ini merupakan modal dasar bagi masyarakat Tapanuli Utara untuk pengembangan budidaya gaharu, produksi gaharu dan industri minyak gaharu serta komoditi lainnya berbahan baku gaharu. Minyak gaharu dikenal sebagai bahan baku industri parfum berkualitas tertinggi di dunia. Sedangkan serbuk kayu, limbah hasil penyulingan minyak gaharu digunakan untuk industri hio, makmul dan lain-lain. Daun gaharu sendiri memiliki khasiat obat, sehingga dapat digunakan untuk pengembangan industri teh daun gaharu.

Upaya percepatan pengembangan kabupaten Tapanuli Utara, propinsi Sumatra Utara menjadi sentra produksi gaharu asal Aquilaria malacensis, dan A. microcarpa memerlukan bantuan dana, teknis dan keahlian. Keahlian gaharu dan produksinya dimiliki perguruan tinggi diantaranya SEAMEO BIOTROP, LP3M IPB. Kerjasama antara masyarakat Tapanuli Utara dan SEAMEO BIOTROP serta didukung pemerintah daerah dan perguruan tinggi setempat merupakan alternatif strategis yang perlu diimplementasikan sebagai langkah awal untuk mencapai tujuan menjadikan Tapanuli Utara sebagai salah satu sentra produksi gaharu.

Kerjasama meliputi implementasi teknologi produksi gaharu melalui teknik inokulasi pada pohon-pohon gaharu milik rakyat, pengadaan bibit dan pengembangan budidaya gaharu, serta industri penyulingan minyak gaharu. Beberapa industri lanjutan lainnya yang dapat diusahakan secara home industry adalah industri parfum, hio, makmul, teh gaharu dan lain-lain. Kantor Badan Penyuluh (BP4K) yang di pimpin Ir. Bloner Nainggolan telah melakukan alih teknologi melalui Sosialisasi dan pelatihan gaharu kepada petani dan pemuda tani yang berasal dari seluruh desa di 15 kecamatan di Taput pada tgl. 22 Agustus – 12 September 2009 yl. Animo dan rasa ketertarikan masyarakat terlihat tinggi dengan telah mulai dibentuknya “Kelompok Petani Gaharu Tapanuli Utara”.
Semoga ibukota TAPUT, Tarutung, kota yang rohani makin penuh berkah dan spiritual melalui limpahan gaharu di masa datang.

Tarutung 12 September 2009.
Drs. Jonner Situmorang M.Si.
Peneliti gaharu SEAMEO BIOTROP.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar