Sabtu, 09 Mei 2015

Masyarakat awam seringkali mengaburkan istilah gaharu dengan pohon penghasil gaharu. Menurut SNI 01-5009.1-1999 gaharu didefinisikan sebagai sejenis kayu dengan berbagai bentuk dan warna yang khas, serta memiliki kandungan kadar damar wangi yang berasal dari pohon atau bagian pohon penghasil gaharu yang tumbuh secara alami dan telah mati sebagai akibat dari suatu proses infeksi yang terjadi baik secara alami atau buatan pada suatu jenis pohon, yang pada umumnya terjadi pada pohon Aquilaria sp. (Istilah bahasa daerah: Karas, Alim, Garu, dan lain-lain).
Lokasi Penanaman
Cara Budidaya Gaharu
Pemilihan Species Aquilaria malaccensis, A. microcarpa serta A. crassna adalah species penghasil gubal gaharu dengan aroma yang sangat disenangi masyarakat Timur Tengah, sehingga memiliki harga paling tinggi.
Pohon penghasil gaharu dapat ditanam mulai dari dataran rendah sampai pegunungan dengan ketinggian 750 m dpl.
Pengenalan dan Cara Menanam Pohon Penghasil Gaharu (Aquilaria.sp: (aquilaria beccariana, malacensis, microcarpa dan sejenisnya)
• Penanaman benih pohon penghasil gaharu sebaiknya dilakukan pada awal musim hujan di pagi hari sampai jam 11.00, dan dapat dilanjutkan pada jam 4 petang harinya.
• Bersihkan Lahan untuk keperluan pembuatan Lobang, untuk memudahkan penanganan sebaiknya dilakukan pengajiran / patok dengan dimensi sesuai keinginan (pengalaman 5 x 5 meter).
• Galilah tanah lobang Ukuran 50 x 50 x 50 Cm. Pisahkan antara tanah galian atas dan tanah galian bawah biarkan selama ± 15 hari.
• Siapkan pupuk kandang atau kompos yang akan menggantikan tanah bawah (dimasukkan terlebih dahulu).
• Kemudian ambil bibit Pohon penghasil gaharu yang siap tanam sobek dan buang pembungkus / polybag dan tutup tanah galian seperti biasa. (bibit sebaiknya sudah ditempatkan di lokasi kebun 2 minggu sebelum ditanam dan menanam pada sore hari dimusim hujan).
• Buatlah atap pelindung dari daun ilalang jika kebun monokultur / terbuka hingga tanaman berumur 18 bulan, setelah itu lahan dapat mulai dibuka.
• Kebutuhan pupuk relatif kecil yakni NPK 10 – 50 gr / 6 bulan. Jika tanaman sudah terjangkit mikoreza maka tidak banyak memerlukan pupuk.
Pemeliharaan
Pemupukan dapat dilakukan sekali 3 bulan, namun dapat juga setiap 6 bulan dengan kompos sebanyak 3 kg melalui pendangiran di bawah canopy. Penggunaan pupuk kimia seperti NPK dan majemuk dapat juga ditambahkan setiap 3 bulan dengan dosis rendah (5 gr / tanaman) setelah tanaman berumur 1 tahun, kemudian dosisnya bertambah sesuai dengan besarnya batang tanaman.
Hama tanaman / pohon penghasil gaharu yang perlu diperhatikan adalah kutu putih yang hidup di permukaan daun bawah, bila kondisi lingkungan lembab. Pencegahan dilakukan dengan pemangkasan pohon pelindung dan pruning agar kena cahaya matahari diikuti penyemprotan pestisida seperti Tiodane, Decis, dan Reagent. Pembersihan gulma dapat dilakukan sekali 3 bulan atau pada saat dipandang perlu.
Tips pemeliharaan yang baik
1. Lobang paling bawah waktu menanam diisi pupuk kandang / kompos.
2. Awal musim hujan dan awal kemarau perlu diberi Pupuk NPK tablet 10-50 gr pohon.
3. Akhir musim hujan / awal musim kemarau tanaman perlu di-dangir / dibersihkan rumput sekitarnya untuk mencegah kebakaran.
Jarak tanam yang ideal untuk pohon penghasil gaharu minimal 2 x 3 meter atau menyesuaikan dengan tanaman perpaduan lainnya seperti karet, pisang, pepaya dan lain-lain.
Cara Budidaya Pohon penghasil gaharu
Pemilihan Species
Aquilaria malaccensis, A. microcarpa serta A. crassna adalah species penghasil gubal gaharu dengan aroma yang sangat disenangi masyarakat Timur Tengah, sehingga memiliki harga paling tinggi.
Lokasi Penanaman.
Pohon penghasil gaharu dapat ditanam mulai dari dataran rendah sampai pegunungan dengan ketinggian 750 m dpl.
Pola Tanam
Monokultur atau sistem campur (tumpangsari, atau agroforestry)
Jarak Tanam
Jarak tanam 3 x 3 m (1.000 pohon / ha.), namun dapat juga 2.5 x 3 m sampai 2.5 x 5 m. Jika pohon penghasil gaharu ditanam pada lahan yang sudah ditumbuhi tanaman lain, maka jarak tanaman penghasil gaharu minimal 3 m dari tanaman tersebut.
Lubang tanam
Ukuran lubang tanam adalah 40 x 40 x 40 cm. Lubang yang sudah digali dibiarkan minimal 1 minggu, agar lubang bereaksi dengan udara luar. Kemudian masukkan pupuk dasar, campuran serbuk kayu lapuk dan kompos dengan perbandingan 3 : 1 sampai mencapai ¾ ukuran lubang. Kemudian setelah beberapa minggu pohon penghasil gaharu siap untuk ditanam.
Penanaman
Penanaman benih pohon penghasil gaharu sebaiknya dilakukan pada awal musim hujan di pagi hari sampai jam 11.00, dan dapat dilanjutkan pada jam 4 petang harinya.
Pemeliharaan
Pemupukan dapat dilakukan sekali 3 bulan, namun dapat juga setiap 6 bulan dengan kompos sebanyak 3 kg melalui pendangiran di bawah canopy. Penggunaan pupuk kimia seperti NPK dan majemuk dapat juga ditambahkan setiap 3 bulan dengan dosis rendah (5 gr / tanaman) setelah tanaman berumur 1 tahun, kemudian dosisnya bertambah sesuai dengan besarnya batang tanaman. Hama tanaman penghasil gaharu yang perlu diperhatikan adalah kutu putih yang hidup di permukaan daun bawah, bila kondisi lingkungan lembab. Pencegahan dilakukan dengan pemangkasan pohon pelindung dan pruning agar kena cahaya matahari diikuti penyemprotan pestisida seperti Tiodane, Decis, Reagent., dll
Pembersihan gulma dapat dilakukan sekali 3 bulan atau pada saat dipandang perlu.
Pemangkasan pohon dilakukan pada umur 3 sampai 5 tahun, dengan memotong cabang bagian bawah dan menyisakan 4 sampai 10 cabang atas. Pucuk tanaman dipangkas dan dipelihara cukup sekitar 5 m, sehingga memudahkan pekerjaan inokulasi gaharu.
Penanaman Pohon penghasil gaharu
Gaharu merupakan gumpalan berbentuk padat berwarna coklat kehitaman sampai hitam, berbau harum jika dibakar. Gaharu terdapat pada bagian kayu atau akar dari jenis pohon penghasil gaharu yang telah mengalami proses perubahan kimia dan fisika akibat terinfeksi oleh sejenis jamur.
Beberapa jenis pohon penghasil gaharu antara lain adalah Aquilaria spp., Aetoxylon sympetallum, Gyrinops, dan Gonystylus.
Pemanfaatan gaharu di Indonesia oleh masyarakat pedalaman Sumatera dan Kalimantan telah berlangsung puluhan bahkan ratusan tahun yang lalu. Secara tradisional gaharu dimanfaatkan antara lain dalam bentuk dupa untuk upacara ritual dan keagamaan, pengharum tubuh dan ruangan, bahan kosmetik dan obat-obatan sederhana. Saat ini pemanfaatan gaharu telah berkembang sangat luas antara lain untuk parfum, aroma terapi, sabun, body lotion, bahan obat-obatan yang memiliki khasiat sebagai anti-asmatik, anti-mikroba, dan stimulan kerja syaraf dan pencernaan.
Akibat dari pola pemanenan yang berlebihan dan perdagangan gaharu yang masih mengandalkan pada alam, jenis-jenis tertentu (seperti Aquilaria dan Gyrinops) saat ini sudah tergolong langka, dan masuk dalam lampiran Convention on International Trade on Endangered Species of Flora and Fauna (Appendix II CITES).
Guna menghindari pohon penghasil gaharu tidak punah dan pemanfaatannya dapat lestari, perlu upaya konservasi, baik in-situ (di dalam habitat) maupun ex-situ (di luar habitat) dan budidaya, serta rekayasa untuk mempercepat produksi gaharu dengan teknologi induksi (inokulasi).
Oleh karena itu, pengembangan budidaya pohon penghasil gaharu ke depan, selain untuk konservasi, juga sekaligus dapat meningkatkan pendapatan masyarakat, pemerintah daerah, dan devisa bagi negara. Informasi yang bersifat “RAHASIA”, yaitu Perhitungan Kasar / Konservatif terhadap usaha ekonomi budidaya pohon penghasil gaharu pada luasan 1 hektar dengan 1000 pohon penghasil gaharu selama 10 tahun, hanya memerlukan biaya sebesar Rp. 80 juta, tetapi dapat menghasilkan penghasilan Rp. 2,8 milyar. Luar biasa kan?! Apalagi, upaya ini juga dapat menyelamatkan keanekaragaman hayati Indonesia, dengan mencegah punahnya pohon-pohon penghasil gaharu.
Kegiatan penanaman pohon penghasil gaharu sebagai batas kawasan TWA Gunung Baung ini bertujuan untuk membangun kembali atau mempertegas kembali batas kawasan konservasi di lapangan, sehingga batas kawasan TWA Gunung Baung dapat diketahui secara pasti dan dapat dilihat dari jauh. Selain bertujuan sebagai batas kawasan, penanaman pohon penghasil gaharu ini juga ditujukan sebagai percontohan budidaya gaharu (Alternatif Usaha Ekonomi Kehutanan Produktif ber Pasar Ekspor) dengan Teknologi BIO INDUKSI. Budidaya pohon penghasil gaharu di TWA Gunung Baung ini merupakan kegiatan usaha ekonomi masyarakat sekitar TWA Gunung Baung yang berpola bapak angkat. Bapak angkat membantu modal, manajemen, teknologi, dan pasar. Selain itu, penanaman pohon penghasil gaharu ini akan dikemas dalam kegiatan penanaman oleh para wisatawan / pengunjung / siswa sekolah. Pohon yang ditanam tersebut akan berpapan nama PENANAM-nya, dan setiap 6 bulan para penanam akan memperoleh informasi dan foto perkembangan pohon-nya (ADOPT TREE) melalui Email. Demikian juga setelah pohon penghasil gaharu berumur 5-6 tahun atau berdiameter 10-15 cm,
Para wisatawan / pengunjung / siswa sekolah dapat melakukan INDUKSI JAMUR penghasil gaharu, yang perkembangan hasilnya juga akan diinformasikan kepada pelaku induksi melalui email. (DIKUTIP DARI: BAUNG CAMP)
GAHARU
Bisnis Masa Depan
MEMBURU gaharu di pedalaman Asmat biasanya dilakukan oleh kelompok. Selain kelompok pemuda, ada juga kelompok yang terdiri atas anggota keluarga. Bapak, ibu, dan sejumlah anak yang dibantu anggota keluarga lain bergabung mencari gaharu di hutan-hutan. Anak- anak sekolah pun dilibatkan dalam kegiatan itu. Mereka membolos dari sekolah sampai berbulan-bulan dan menetap di hutan. Bagi warga yang tinggal cukup jauh dari kota kecamatan, tugas menjual gaharu diserahkan kepada suami.
Harga gaharu sangat bervariasi, Rp 300.000-Rp 10 juta / kg, tergantung jenis dan kualitas gaharu. Gaharu berkualitas sering disebut jenis super, berwarna hitam mengkilat. Harga gaharu jenis super di pedalaman Asmat sampai Rp 10 juta / kg, dan di luar negeri, seperti Singapura dan Hongkong, mencapai Rp 50 juta / kg. Karena itu, para pedagang gaharu tidak segan mengeluarkan uang untuk mendapatkan gaharu berkualitas.
Agar tidak rugi, para pedagang ini selalu memantau perkembangan harga gaharu di Singapura, Hongkong, Korea, China, dan Jepang dengan menggunakan telepon satelit.
Jika harga gaharu di luar negeri sedang membaik, berapa pun harga yang diminta para pemilik, pengumpul, dan masyarakat adat di pedalaman Asmat tetap dibayar pengusaha.
Karena itu, sering para pengumpul dan pemilik gaharu mengintip perkembangan harga gaharu di luar negeri melalui para pengusaha dan pedagang di daerah itu. Jika harga gaharu melonjak, mereka akan meminta harga gaharu berkualitas dengan harga lebih dari Rp 10 juta / kg.
GAHARU
Bisnis Masa Depan
TEKNOLOGI PERCEPATAN PEMBENTUKAN BUDIDAYA GUBAL GAHARU
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah ( BAPPEDA ) Kabupaten Ketapang bekerjasama dengan Lembaga Penelitian Universitas Tanjung Pura telah mengadakan Opservasi dan Presentasi pada tanggal, 7 Desember 2006 dan telah dihadiri oleh beberapa dinas dan instansi terkait.
Kegiatan ini dibuka langsung oleh Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Ketapang FARHAN, SE,Msi. Dalam kata sambutannya secara singkat dikatakan bahwa masih adanya sebagian masyarakat di pedesaan belum memahami cara mengambil gubal gaharu, yang sudah bisa diambil / dipanen. Selanjutnya dikatakan dengan adanya kegiatan penelitian ini, karena sudah banyak kejadian bahwa sudah banyak jumlah pohon yang ditebang namun tidak terdapat gaharu, karena itu Kepala BAPPEDA mengharapkan Lembaga Penelitian dari Universitas Tanjung Pura agar kegiatan ini bisa bekerja sama dengan dinas kehutanan dan dinas perkebunan untuk mengadakan penelitian secara terpadu.
Adapun tenaga penelitian, selaku Ketua Penanggung Jawab, DR,Ir.Abdurrani Muin MS mengatakan, kegiatan ini sudah diujicoba di Kabupaten Kapuas Hulu, namun karena di Ketapang terdapat gubal gaharu yang asal alami dan asal tebang. Untuk mendapatkan gubal gaharu akan diadakan melalui suntikan gaharu yang terbuat dari cendawan yang dikembangbiakkan. Di Ketapang pohon penghasil gaharu bisa tumbuh di antara pohon-pohon lainnya seperti karet dan tumbuh-tumbuhan, karena pembuatannya sangat mudah dan umur kayu mencapai 5 (lima) tahun sudah bisa ditebang / dipanen, dan hasil kayu gaharu ini diekspor ke Singapura dengan harga yang cukup tinggi. Untuk itu dihimbau kepada masyarakat agar mulai saat ini agar segera menanam kayu gaharu di kebun-kebun atau perkarangan karena hasilnya sangat menjanjikan dengan pendapatan yang cukup besar bagi petani dan bisa meningkatkan PAD setempat.
Di Kabupaten Ketapang telah diujicoba di Desa Segagap Kacamatan Nanga Tayap dan sudah mencapai umur 6 (enam) bulan, diharapkan daerah lain agar bisa mengikuti, sehingga beberapa tahun ke depan Ketapang bisa menjadi daerah pengekspor gaharu terbesar ke Singapura. ( T a m r i n ).
GAHARU
Bisnis Masa Depan
Gaharu Sembuhkan Banyak Penyakit
Pohon penghasil gaharu dikenal berasal dari marga tumbuhan bernama Aquilaria. Di Indonesia tumbuh berbagai macam spesiesnya, seperti A. malaccensis, A. microcarpa, A. hirta, A. beccariana, dan A. Filaria. Karena banyaknya jenis tumbuhan ini ada di Indonesia, maka bukan barang aneh, bila kemudian tumbuhan ini juga banyak dimanfaatkan masyarakat. Salah satu manfaatnya merupakan fungsi flora ini sebagai obat. Meningkatnya penggunaan obat-obatan dari bahan organik seperti tumbuhan (herbal), membuat gaharu semakin diminati sebagai bahan baku obat-obatan untuk berbagai macam penyakit. Dari hasil penelitian yang ada, gaharu dikenal mampu mengobati penyakit seperti stres, asma, liver, ginjal, radang lambung, radang usus, rematik, tumor, dan kanker. Kini pengunaan gaharu sebagai obat terus meningkat.
Tapi sayangnya, hingga kini Indonesia baru mampu memasok 15 persen total kebutuhan gaharu dunia. Bahkan, kini fungsi gaharu juga merambah untuk bahan berbagai produk kecantikan dan perawatan tubuh. Sebagai kosmetik gaharu bisa dijual seharga Rp 2-5 juta per kilogram, bahkan untuk jenis super dan dobel super harganya mencapai Rp18 juta per kilogram.
Di Indonesia tanaman ini dikelompokkan sebagai produk komoditi hasil hutan bukan kayu. Atas dasar itu, pengembangan gaharu sangat mendukung program pelestarian hutan yang digalakkan pemerintah.
Investasi di bidang gaharu sendiri sebenarnya sangat menguntungkan. Gaharu bisa dipanen pada usia 5-7 tahun. Untuk satu hektar pohon penghasil gaharu hingga bisa dipanen, diperlukan biaya sebesar Rp 125 juta namun hasil panen yang didapat mencapai puluhan kali lipat. Budidaya pohon penghasil gaharu sangat cocok dikembangkan untuk meningkatkan hasil hutan non-kayu, sementara pasarnya sangat luas dan tidak terbatas. (ant/slg)
DIKUTIP DARI : Copyright © Sinar Harapan 2003
MANFAAT GAHARU
Sampai saat ini, pemanfaatan gaharu masih dalam bentuk bahan baku (kayu bulatan, cacahan, bubuk,atau fosil kayu yang sudah terkubur. Setiap bentuk produk gaharu tersebut mempunyai bentuk dan sifat yang berbeda. Gaharu mempunyai kandungan resin atau damar wangi yang mengeluarkan aroma dengan keharuman yang khas. Dari aromanya itu yang sangat popular bahkan sangat disukai oleh masyarakat negara-negara di Timur Tengah, Saudi Arabia, Uni Emirat, Yaman, Oman, daratan China, Korea, dan Jepang sehingga dibutuhkan sebagai bahan baku industri parfum, obat-obatan, kosmetika, dupa, dan pengawet berbagai jenis asesori serta untuk keperluan kegiatan keagamaan, gaharu sudah lama diakrabi bagi pemeluk agama Buddha, dan Hindu.
Dengan seiringnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi industri, gaharu bukan hanya berguna sebagai bahan untuk industri wangi-wangian saja, tetapi juga secara klinis dapat dimanfaatkan sebagai obat.
Gaharu bisa dipakai sebagai obat: anti asmatik, anti mikroba, stimulan kerja syaraf dan pencernaan ,obat sakit perut, perangsang nafsu birahi, penghilang rasa sakit, kanker, diare, tersedak, tumor paru-paru, obat tumor usus ,penghilang stress, gangguan ginjal, asma, hepatitis, sirosis, dan untuk kosmetik (perawatan wajah dan menghaluskan kulit).
KEBUN GAHARU
INOKULASI
Fusarium yang di-inokulasi ke jaringan pohon itu sebenarnya kuman penyebab penyakit. Oleh karena itu pohon penghasil gaharu itu melawan dengan memproduksi resin bernama fitoaleksin supaya kuman tak menyebar ke jaringan pohon lain. Seiring waktu, resin itu mengeras di sudut-sudut pembuluh xylem dan floem – organ pohon yang mendistribusikan makanan berwarna kecoklatan, serta harum bila dibakar.
Mengingat jenis isolate penyakit pembentuk gaharu berbeda-beda sesuai kondisi iklim dan lingkungan, penyedia inokulan perlu melakukan isolasi jenis penyakit yang berprospek memproduksi gaharu. Isolasi ini dilakukan terhadap tanaman penghasil gaharu alam yang berada di dalam kawasan hutan sekitar daerah pengembangan. Untuk tujuan tersebut, perlu diawali dengan pengamatan lapangan untuk mempelajari aspek gaharu yang tumbuh alami serta mengisolasi dan mengidentifikasi jenis penyakit dari pohon yang terserang.
Bahan inokulan gaharu (Fusarium sp)
Agar berhasil mengembangkan inokulan pembentuk gaharu, diperlukan teknik tertentu. Untuk hal ini, sangat diperlukan peran dari pemerintah daerah, instansi atau lembaga terkait, perguruan tinggi, dan investor atau pengusaha swasta di daerah setempat sebagai pelaku produksi inokulan. Adapun tahapan teknik pengembangan inokulan sebagai berikut:
• Pilih pohon penghasil gaharu alami yang sudah terinfeksi mikroba penyakit pembentuk gaharu.
• Ambil potongan cabang atau kupasan batang pohon penghasil gaharu terpilih. Potongan cabang atau kupasan batang ini disebut “ Preparat ”.
• Bawa preparat tersebut ke laboratorium dan upayakan agar suhu dan kelembapannya tetap terjaga dengan cara dimasukkan dalam kotak es.
• Kembangkan spora dari preparat cabang dan / atau batang tersebut di dalam media untuk diidentifikasi jenis mikrobanya sebagai biakan murni.
• Kembangkan spora dan miselium biakan murni tersebut ke dalam media padat seperti serbuk gergaji pohon penghasil gaharu atau dalam media cair yang telah berisi unsur makro dan mikro sebagai energi hidup.
• Masukkan media spora kedalam incubator pembiakan dan kondisikan suhu dan kelembapan incubator pembiakan tersebut pada keadaan optimal, yaitu suhu 24 – 32C dan kelembapan 80%. Biarkan sekitar 1 – 2 bulan.
• Tempatkan spora yang sdah dibiakkan tersebut kedalam wadah berupa botol kaca, botol plastic, atau botol infuse bekas.
• Simpan botol dalam freezer incubator. Inokulan ini sudah siap di-inokulasikan ke tanaman / pohon penghasil gaharu. Teknik inokulasi dengan inokulan terhadap pohon penghasil gaharu berbeda-beda sesuai dengan bentuk inokulannya. Pada pelaksanaan penginokulasian terhadap pohon penghasil gaharu ini, harus diperhatikan umur dan diameter batangnya. Batas minimal suatu pohon dapat di-inokulasi ditandai dengan pohon yang mulai berbunga. Biasanya umur tanaman tersebut sekitar 4 – 5 tahun atau diameter batang sudah mencapai 8 – 10 cm. Berikut diulas teknik inokulasi menggunakan inokulan padat dan cair.
Inokulasi dengan inokulan padat
Teknik inokulasi pohon penghasil gaharu menggunakan inokulan padat dilaksanakan dengan cara sebagai berikut:
• Buat lubang pada batang kayu gaharu dengan menggunakan bor. Diameter lubang bor sekitar 0,8 – 10 mm. Kedalaman optimal pemboran ini perlu disesuaikan dengan ukuran diameter batang, biasanya sekitar 5 cm. Setiap batang dibuatkan banyak lubang dengan jarak antar lubang bor sekitar 20 cm.
• Bersihkan tangan pelaku inokulasi dengan air hingga bersih dan dibilas dengan alcohol sebelum pelaksanaan inokulasi.
• Masukkan inokulasi padat ke setiap lubang. Jumlah inokulan disesuaikan dengan kedalaman lubang. Sebagai patokan, pemasukan ini dilakukan hingga lubang terisi penuh dengan inokulan. Agar pemasukan menjadi mudah, gunakan potongan kayu atau bamboo yang ukurannya sesuai dengan ukuran diameter lubang.
• Tutup setiap lubang yang sudah diberi inokulan untuk mnghindari masuknya air ke dalam lubang. Penutupan lubang ini dilakukan dengan pasak kayu gaharu. Penutupan pun dapat dilakukan dengan “lili malam”
Membuat lubang untuk memmasukkan inokulan
Inokulasi dengan inokulan cair.
Teknik inokulasi menggunakan inokulan cair dilaksanakan dengan cara sebagai berikut:
• Lakukan pengeboran pada pangkal batang pohon dengan posisi miring kebawah. Kedalaman pemboran disesuaikan dengan diameter batang pohon, biasanya 1/3 diameter batang. Sementara mata bor yang digunakan berukuran sama dengan selang infus sekitar 0,5 cm. Selang infuse tersebut biasanya sudah disediakan produsen inokulan pada saat pembelian inokulan. Namun, bila belum tersedia, selang infuse dapat disediakan sendiri oleh petani.
• Masukkan selang infus yang ada pada botol inokulan cair kedalam lubang.
• Atur besarnya aliran inokulan cair tersebut. Hentikan aliran infuse bila cairan inokulan sudah keluar dari lubang.
• Tutup bagian tepi di sekitar selang infuse dengan menggunakan “lilin malam”.
• Ulangi pengaturan aliran masuknya cairan infuse kedalam lubang setiap 1 – 2 hari, tergantung keadaan cairan dalam lubang. Pengaturan aliran dilakukan bila lubang sudah tidak terdapat lagi cairan inokulasi.
• Laksanakan penginokulasian ini hingga inokulan cair di dalam botol infuse tersebut habis. Penginokulasian diulang kembali dengan botol inokulasi baru, bila belum ada tanda tanda kematian fisik dan fisiologis.
Disadur dari buku:
Budidaya Gaharu karya Yana Sumarna 2002.
Potensi dan peluang bisnis tanaman Gaharu di Asahan
Karya Mujiono 2008.
Berikut Artikel Majalah TRUBUS , majalah Agrobisnis no, 1 di Indonesia mengenai teori terbentuknya Gubal Gaharu :
Gubal terbentuk karena rangsangan dari mikroba yang masuk ke jaringan tanaman,’ kata Dr Ir Mucharromah, MSc, peneliti gaharu dari Universitas Bengkulu. Mikroba-berupa cendawan atau bakteri-masuk melalui luka. Luka bisa disebabkan karena pengeboran, penggergajian, bahan cabang patah, atau kulit terkelupas.
Di Kelurahan Sidomulyo, Bengkulu, Jasmi Syafaruddin punya 5 pohon. Gara-gara Jasmi membakar sampah di dekat situ, kulit 2 tanaman terkelupas. Dalam posisi telanjang seperti itu diduga fusarium datang menyerang. Dua pohon berumur 5 tahun itu sekarang sudah bergubal. Abdulqodir Hadi Mustofa Habibullah di Jambi mencoba mengebor secara vertikal. Mata bor ¾ inci dibenamkan sedalam 1-3 m. Lalu minimal 10 botol inokulan fusarium bervolume 600 cc dikucurkan. Dari proses itu Habib mulai menuai gaharu.
Ketika mikroba masuk jaringan tanaman, ia dianggap sebagai benda asing. Makanya tanaman merespon dengan mengeluarkan penangkal. Tri Mulyaningsih, MSi, ahli gaharu dari Universitas Mataram menyebut zat imun itu fitoalexin. Bentuknya berupa resin beraroma yang diproduksi oleh alkaloid sel. Resin berwarna cokelat itu melindungi sel-sel tanaman dari serangan mikroba. ‘Ia membentengi sel dari serangan mikroba,’ kata Mucharromah. Resin melokalisir kerusakan akibat serangan mikroba supaya luka tidak meluas ke jaringan lain. Deposit resin-pada jaringan hidup-yang terus menumpuk berujung pada terbentuknya gaharu.
Proses memasukkan cendawan fusarium sp ke dalam pohon penghasil gaharu yang telah dibor
Salah satu ciri yang dapat dijadikan indikator tajuk tanaman menguning dan rontok, pada batang atau cabang terjadi pembengkakan, pelekukan, atau penebalan. Namun, ketika mikroba terlalu perkasa, gubal urung terbentuk. Tanaman bisa mati-minimal batang busuk-karena kalah kuat melawan keganasan si penyusup. Jika respon tanaman terlalu kuat, gubal yang sempat terbentuk akan menghilang.
Penyebab harum
Kejadian itu lantaran, ‘Respon setiap jenis tanaman terhadap infeksi mikroba berbeda-beda,’ lanjut Mucharromah. Oleh karena itu mesti ada ‘kecocokan’ antara jenis tanaman penghasil gaharu dengan mikroba inokulannya. Yang dipercaya sebagai inokulan utama di alam adalah Fusarium sp.
Penelitian doktor patologi tanaman dari Universitas Kentucky, Amerika Serikat, itu menunjukkan di Bengkulu F. cylindriscorpum dan F. oxysporum paling top ‘mengundang’ gubal pada A. malaccensis.
Pada proses inokulasi buatan, ‘Sukses-tidaknya pembentukan gaharu bisa diketahui sejak hari ke-5 pascainokulasi,’ kata Ir Hartal MP, juga peneliti gaharu dari Universitas Bengkulu. Pada bagian yang terbentuk gaharu terlihat kayu berubah warna menjadi kecokelatan. Perkara terbentuknya aroma harum gaharu, itu karena resin yang dihasilkan oleh alkaloid sel berupa oleoresin dengan kandungan fitokimia sesquiterpene.
Copyright © 2010 – 2011 Kebun Gaharu, All Right Reserved
Suntikan Inukolan – Sumber Majalah Trubus Indonesia
Setahun Panen Gaharu
Lubang itu teramat mungil: diameter 2 mm dan kedalaman 5 mm. Bekas gerekan serangga Zeuzera conferta di batang karas itu menjadi gerbang bagi cendawan penghasil gaharu. Dengan lubang mini itulah justru Erdy Santoso memanen gaharu hanya dalam waktu setahun; lazimnya, 3 tahun pascapenyuntikan.
Erdy Santoso, periset Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam itu menerapkannya di beberapa pohon karas Aquillaria malaccensis milik Johny Wangko. Setahun kemudian pada penghujung Maret-April 2008, Johny memanen 15 kg kamedangan. Kamedangan adalah gaharu kelas tiga yang dijual US$150 setara Rp1,35-juta per kg. Artinya pekebun gaharu di Desa Serdang, Bangka Selatan, itu meraup omzet Rp20-juta dari penjualan 15 kg kamedangan.
Yang menggembirakan tentu saja bukan hanya uang segunung itu. Namun, bagi Johny adalah singkatnya waktu panen yang Cuma setahun. Bandingkan dengan pekebun lain yang panen 2-3 tahun pascapenyuntikan cendawan. Singkatnya waktu panen itu berkat inspirasi serangga Zeuzera conferta yang membuat lubang mini di permukaan batang karas alias gaharu. Selama ini teknologi untuk menginokulasi gaharu dengan cara menggergaji batang sedalam 1 cm secara zigzag.
Perbanyak lubang
Pekebun yang menerapkan teknologi lubang besar berkedalaman 1/3 diameter batang itu baru dapat menuai gaharu setelah 3 tahun. Menurut Dr Irnayuli R Sitepu, ahli bakteri, lubang besar memudahkan masuknya berbagai serangga dan jasad renik lain yang bersifat patogen. Lubang besar juga memicu pohon lapuk. ‘Akibatnya pohon busuk dan mati,’ ujar doktor alumnus Hokaido University itu. Lubang kecil justru mempunyai banyak kelebihan.
Pertama karena menghemat inokulum alias cendawan yang akan disuntikkan ke dalam lubang. Menurut Ir Ragil SB Irianto MSc, ahli gaharu, lubang 2 mm memerlukan 1 cc inokulum; lubang 1 cm 5 cc. Inokulum dijajakan dalam kemasan 300 cc dengan harga Rp50.000. Lubang kecil memang mengakibatkan lamanya waktu virulensi. Oleh karena itu, ‘Saya perbanyak jumlah lubang,’ kata Erdy.
Pohon setinggi 4 m, misalnya, terdiri atas 300 lubang. Erdy membuat lubang-lubang itu dengan bor. Poros lubang zigzag dengan jarak 5-10 cm agar, ‘Gaharu yang terbentuk berkumpul dan membentuk lingkaran,’ ujar peneliti gaharu sejak 1984 itu. Dengan lubang zigzag, praktis semua bagian pohon terinfeksi cendawan yang pada akhirnya membentuk gaharu.
Ahli patologi hutan itu juga menyuntikkan cendawan di bagian akar. Ia menggali akar yang terpendam dalam tanah dan mengebornya. Cara dan jarak pengeboran sama dengan pembuatan lubang di batang. Setelah cendawan disuntikan ke akar, ia menutupnya dengan parafi n untuk mencegah masuknya mikroorganisme patogen.
Cendawan top
Rahasia sukses panen cepat gaharu itu juga berkat cendawan unggul koleksi Erdy. Pria 50 tahun itu mengumpulkan cendawan dari 17 provinsi seperti Jambi, Gorontalo, Kalimantan Barat, dan Sumatera Barat. Dari 23 cendawan yang biasa menginfeksi gaharu, Erdy menemukan 4 unggulan. Semua bergenus Fusarium. Sayang, Erdy enggan mengungkap spesies cendawancendawan itu lantaran tengah dipatenkan.
Perpaduan antara cendawan dan teknik suntik terbaru itu menghasilkan proses infeksi lebih cepat. ‘Sebulan setelah penyuntikan, sekitar lubang sudah tampak kehitaman,’ kata Johny Wangko yang menerapkan temuan Erdy. Setahun kemudian, 1-2 kg resin gaharu bisa dipanen. Kayu terinfeksi itu berwarna hitam dengan gurat-gurat putih samar. ‘Jika dibiarkan 1-2 tahun lagi, gaharu yang terbentuk akan lebih banyak dan lebih hitam,’ katanya.
Menurut Drs Yana Sumarna MSi, periset Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan, proses terbentuknya gaharu akibat pohon terluka dan terinfeksi patogen. Mekanisme proses fi siologis terbentuknya gaharu dimulai dari masuknya mikroba penyakit ke dalam jaringan kayu. Untuk mempertahankan hidup dan perkembangannya, mikroorganisme itu memanfaatkan cairan sel jaringan pembuluh batang sebagai sumber energi. Secara perlahan, efek hilangnya cairan sel menurunkan kinerja jaringan pembuluh dalam mengalirkan hara ke daun.
Sel-sel yang isinya sudah dikonsumsi mikroba itu akan membentuk suatu kumpulan sel mati pada jaringan pembuluh. Akibatnya, fungsi daun dalam memproses hara menjadi energi pun terhenti sehingga daun menguning dan tanaman mati. Secara fisik, cabang dan ranting mengering, kulit batang pecah, dan mudah dikelupas. Kondisi itu merupakan ciri biologis pohon yang menghasilkan gaharu. Singkatnya, gaharu terbentuk sebagai hasil respon tanaman terhadap infeksi patogen, luka, atau stres. (Lani Marliani)
Sumber: http://www.gaharuman.com/2008/09/suntika…
HASIL SUNTIKAN INOKULAN – SUMBER MAJALAH TRUBUS

Tidak ada komentar:

Posting Komentar