Sabtu, 09 Mei 2015

Indonesia Association of Eaglewood (Asosiasi Gaharu Indonesia)
Niat Abdulqodir Hadi Mustofa menanam 39 bibit gaharu di sela-sela pohon karet amat sederhana: cuma ingin mengambil kulit batang yang kuat. Ia ingin memanfaatkannya sebagai tali tas pengangkut getah karet. Namun atas saran kerabat ia memasukkan cairan cendawan Fusarium sp di 3 lubang. Dua tahun kemudian pada Oktober 2008, Abdulqodir menebang sebatang pohon itu dan memperoleh 300 kg kemedangan yang harganya Rp300.000 per kg. Dari 100 kg kemedangan yang terjual, omzet pria 50 tahun itu Rp30-juta.
Fusarium yang diinokulasi ke jaringan pohon itu sebetulnya kuman penyebab penyakit. Oleh karena itu pohon gaharu melawan dengan memproduksi resin bernama fitoaleksin supaya kuman tak menyebar ke jaringan pohon lain. Seiring waktu, resin itu mengeras di sudut-sudut pembuluh xylem dan floem-organ pohon yang mendistribusikan makanan-berwarna kecokelatan, serta harum bila dibakar. Itulah kemedangan yang dipanen oleh Abdulqodir, pekebun di Simpangtiga, Kecamatan Kotabaru, Provinsi Jambi.
Andai waktu inokulasi lebih lama, 2-4 tahun, kemedangan yang semula kecokelatan itu berubah warna menjadi kehitaman dan lebih harum lantaran kadar resin lebih tinggi. Itulah gubal gaharu yang sekarang berharga Rp5-juta-Rp15-juta per kg. Oleh karena itu Abdulqodir membiarkan 38 pohon gaharu lain setelah inokulasi. Ia menyimpan harta karun di pohon-pohon itu. Bayangkan, sebuah pohon berumur 15 tahun seperti milik Abdulqodir bakal menghasilkan rata-rata 1 kg gubal. Dengan kualitas terendah dan harga termurah per kg Rp5-juta, omzetnya Rp190-juta.
Nun di Kalimantan Barat, H. Raden Syamhuddin Has memanen 3 pohon karas. Pria 54 tahun itu tidak ingat jumlah produksi dan kualitas gaharu dari pohon-pohon yang 10 tahun lalu ia lukai dengan cara membacok, memantek bilah kayu ulin, sampai mengucuri larutan gula merah agar muncul gubal. Yang Syamhuddin ingat, dari panen 3 pohon pada April 2007, ia memperoleh Rp11-juta.
Peraih penghargaan kepala desa terbaik se-Kalimantan Barat di bidang konservasi alam itu masih memiliki 397 pohon gaharu di kebun karet seluas 12 hektar. Umurnya rata-rata 15 tahun dengan tinggi menjulang 8-10 m, berdiameter 25-30 cm. Enampuluh pohon di antaranya sudah diinokulasi cendawan Fusarium sp pada Agustus 2006. Itu atas saran kerabat Syamhuddin yang bergaul dengan peneliti kehutanan dari Universitas Tanjungpura, Pontianak, Kalimantan Barat. November 2008, seorang penampung menyodorkan harga Rp2-juta per pohon. Ia menolak dan memilih untuk memperpanjang masa inokulasi sampai batas waktu yang tidak bisa ditentukan.
Populasi menyusut
Gaharu yang memberi pendapatan tidak kecil pada Abdulqodir dan Syamhuddin, bukan nama pohon, tetapi resin yang dihasilkan dari pohon genus tertentu. Periset Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan, Yana Sumarna MS menjelaskan, paling sedikit ada 27 spesies pohon yang dapat membentuk gaharu. Spesies-spesies itu tumbuh di hutan hujan tropis Nusantara seperti genus Aquilaria, Aetoxylon, Enkleia, Excoccaria, Dalbergia, Gonystylus, Gyrinops, dan Wikstroemia. Genus Aquilaria dan Gyrinops paling banyak jenisnya, masing-masing ada 9 spesies. Abdulqodir dan Syamhuddin termasuk yang membudidayakan Aquilaria malaccensis.

Dua tahun terakhir banyak pekebun yang memanen gaharu hasil budidaya. Pemicunya gaharu alam yang terus menyusut. Pada 2000 Asgarin (Asosiasi Pengusaha Eksportir Gaharu Indonesia) mensurvei populasi gaharu alam di berbagai hutan. Hasilnya di Sumatera tersisa 26%, Kalimantan (27%), Nusa Tenggara (5%), Sulawesi (4%), Maluku (6%), Papua (37%).
Menyusutnya populasi di alam karena sebagian besar pemburu tak mampu mengidentifikasi pohon gaharu yang sudah terinfeksi cendawan. Untuk memperoleh sebuah pohon yang mengandung gubal, mereka menebang hingga puluhan pohon. Pohon yang belum bergubal dan telanjur ditebang, dibiarkan begitu saja. Ini hampir terjadi di semua hutan alam.
Kadir Ade, pemburu gaharu di Desa Serawai, Nangapinoh, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, menebang di atas 10 pohon untuk memetik 20-30 kg teras super (gubal dalam bahasa Dayak, red). Itu dilakukan Kadir di hutan-hutan di hulu Sungai Kapuas dan hulu Sungai Melawi. Ia tergiur harga jual teras yang tinggi, Rp350.000 per kg. Dari 10 pohon yang dibabat hanya 2 pohon yang setelah dibelah berisi teras.
Fenomena itu tercium oleh dunia luar. Pada Konvensi ke-9 CITES (Convention on International Trade in Endangered Species) di Florida, Amerika Serikat pada November 1994, diputuskan pohon gaharu spesies malaccensis masuk appendix II. Artinya anggota famili Thymelaeaceae itu dibatasi perdagangannya. Tiga belas tahun kemudian diputuskan, kuota ekspor spesies itu yang boleh diambil dari alam hanya 30 ton, dari sebelumnya 50 ton. Total kuota ekspor gaharu Indonesia dari tahun ke tahun terus turun. Data PHKA dan CITES menyebutkan kuota ekspor pada 2000, sejumlah 225 ton; 2001 (200 ton); 2002 (180 ton); dan 2003-2005 (175 ton).
Pascakonvensi ke-13 CITES di Bangkok, Thailand pada 2004, pembatasan perdagangan juga berlaku untuk semua spesies gaharu alam. Seluruh produk dan hasil gaharu masuk CITES appendix II. Keputusan itu dilandasi sulitnya pasar dunia membedakan produk asal spesies malaccensis atau bukan. ‘Konsekuensinya penjualan ekspor dan impor produk gaharu ditentukan kuota dan harus ada izin dari CITES,’ ungkap Dr Tonny Soehartono, direktur Konservasi dan Keanekaragaman Hayati, Direktorat Jenderal PHKA Departemen Kehutanan. Penerapan kuota bertujuan untuk memastikan sebaran spesies pohon gaharu di alam mampu berkembang biak dengan baik.
Menurut koordinator otoritas ilmiah CITES, Dr Gono Semiadi APU, kuota itu tidak membedakan gaharu alam atau budidaya. ‘Sebaiknya pekebun budidaya melapor pada BKSDA setempat untuk mendapat surat rekomendasi. Itu untuk mempermudah ketika menjual hasil panen di masa depan,’ katanya. Proses pelaporan hingga pembuatan berita acara pemeriksaan dari kegiatan penanaman itu gratis.
Marak budidaya
Dengan rambu-rambu itu makanya mengebunkan gaharu menjadi pilihan. Apalagi gaharu dapat dibudidayakan di ketinggian 0-1.500 m dpl, kelembapan 80%, curah hujan 1.200-1.600 mm per tahun, dan adaptif di berbagai tipe tanah. Itu sebabnya kebun-kebun gaharu kini banyak bermunculan di Lombok Barat (Nusa Tenggara Barat), Kabupaten Ketapang (Kalimantan Barat), Kelurahan Bentiring dan Kecamatan Argamakmur (Bengkulu), Pangkalpinang (Bangka Belitung), Bogor dan Sukabumi (Jawa Barat), serta Kecamatan Kotabaru (Jambi). Tak kurang dari Malem Sambat Kaban, Menteri Kehutanan Kabinet Indonesia Bersatu mendorong penanaman gaharu.
Adi Saptono, pekebun di Pangkalbalam, Pangkalpinang, Bangka Belitung, menanam 300 spesies malaccensis, microcarpa, dan beccariana pada 2004. Ia menanam gaharu secara monokultur itu dengan jarak tanam 2 m x 2 m. Pohon yang dipelihara di kebun belakang rumah itu kini tingginya 3,5 m berdiameter 10 cm. Setahun lalu pohon-pohon itu diinokulasi menggunakan ramuan ‘rahasia’. Isi ramuan bermacam-macam cendawan: fusarium, acremonium, dan aspergillus. Seliter cendawan ini dipakai untuk menyuntik 2.000 lubang per pohon. Sejauh ini Adi belum dapat menebak hasilnya. Namun, di luar itu Adi sudah mencicipi pendapatan dari ramuan ‘rahasia’ itu.
Bermitra dengan pekebun karet yang di kebunnya ‘tumbuh liar’ 1-2 pohon gaharu, pada November 2008 ia memanen 5 pohon setinggi 8 m berdiameter 25 cm. Pohon itu telah diinokulasi seliter cendawan pada pertengahan 2005. Adi memperoleh 22,5 kg gaharu terdiri atas 2,5 kg gubal mutu B dan 20 kg kemedangan. Temannya membeli gubal itu seharga Rp2-juta/kg dan kemedangan per kg Rp500.000-Rp1-juta. Minimal pendapatan Rp15-juta ditangguk. Pendapatan itu dibagi dua dengan pemilik kebun; Adi mengantongi Rp7,5-juta. Masih ada 70 pohon gaharu lagi yang tengah menanti saat dipanen.
Di Desa Gunungselan, Kecamatan Argamakmur, Bengkulu Utara, Rita Rosita menanam 1.700 pohon gaharu spesies malaccensis di lahan 7.000 m2. Ia menumpangsarikan malaccensis berumur 1,5 tahun itu (jarak tanam 2,5 m x 2,5 m) dengan tanaman jati Tectona grandis berumur 4 tahun dan kakao Theobroma cacao berumur 3 tahun. Di pinggir-pinggir kebun itu berderet pohon pinang Areca cathecu yang tengah berbuah lebat.
Tumpangsari ini bukan tanpa sebab. Pendapatan lain bisa diraih Rita sambil menunggu pohon-pohon gaharu itu siap diinokulasi cendawan. Tanaman kakao sudah berproduksi 2 kg/pohon. Panen dilakukan 2 minggu sekali sebanyak 7 kg kering dengan harga Rp12.000 per kg. Pinang sesekali dipanen dan dijual dengan harga Rp3.500 per kg. Sekali menjual sebanyak 30 kg.
Beragam kendala
Beragam rintangan siap menghadang pekebun gaharu buat meraih untung. Peluang memetik laba besar bakal gagal total jika pekebun gagal menginokulasi seperti dialami H. Mahmuddin Sany. Pekebun di Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, itu menginokulasi sebuah pohon gaharu dari 20 pohon yang ditanam pada 2000. Alih-alih mendapat gubal, pohon berdiameter 18-20 cm itu batangnya membusuk. Menurut Sany kegagalan itu antara lain karena ia tidak paham masa aktif inokulan. Saat 2 mL larutan cendawan fusarium itu diinokulasi pada 30 lubang, umur si mikroba sudah kedaluwarsa sejak 3 bulan sebelumnya. Hasilnya? Pohon itu mati.
Urusan cendawan ini memang agak pelik bagi pekebun. Bukannya mereka tidak tahu teknologi cendawan, ‘Saya pernah mencoba menyuntik pada sebuah pohon, tapi tak lama mati,’ kata M Amin, pekebun di Dusun Orong Selatan, Desa Gegerung, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat. Kapok dengan kejadian itu ia kembali memakai cara tradisional: dipaku. Dari pengalaman Amin pohon bergaris tengah 10 cm setinggi 3-4 m yang ‘diinokulasi’ 3 kg paku selama 2 tahun dapat menghasilkan 1 kg kemedangan. Selain dipaku masih ada cara tradisional lain: menancap bilah bambu, kayu ulin, dan seng. Yang lain membubuhi garam sampai mengoleskan oli. Intinya membuat pohon ‘merana’ sehingga mau mengeluarkan gaharu.
Menurut Dr Ir Mucharromah MSc, peneliti gaharu dari Jurusan Perlindungan Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu, gagalnya cendawan bereaksi karena tanaman memberikan respon berbeda-beda. Sebab itu mutlak ada ‘kecocokan’ antara mikroba yang diinokulasi dengan si tanaman. Makanya sulit menentukan mikroba yang paling pas. ‘Yang namanya mikroba pembentuk gubal itu ada sekitar 50 spesies,’ katanya. Fusarium yang efektif di Bogor berbeda misalnya dengan di Bengkulu dan Nusa Tenggara Barat. Sebab itu pula pekebun seperti di Bengkulu, Kalimantan Selatan, dan Pangkalpinang meracik sendiri ramuan mikroba atas dasar pengamatan di lapangan.
Muhaimin, pekebun di Desa Batumandi, Kecamatan Batumandi, Kabupaten Balangan, Kalimantan Selatan, bisa menjadi contoh. Pada 2006 ia menginokulasi 30 pohon gaharu spesies microcarpa berumur 30 tahun setinggi 25 m berdiameter 40 cm memakai cendawan ‘ajaibnya’. Hasilnya dari 2 pohon yang dipanen pada pertengahan 2008 Muhaimin mendapat masing-masing 4 kg kemedangan yang laku dijual Rp1-juta per kg. Bahan cendawan itu berasal dari gubal gaharu hutan setempat yang dikembangbiakkan di laboratorium pertanian.
Pengguna gaharu juga menemukan hambatan berupa sulitnya mendapatkan gubal. Itu dialami CV Agung Perdana, eksportir gaharu di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Bertahun-tahun perusahaan yang berdiri pada 1980 itu mengekspor gubal berwarna cokelat kehitaman dalam bentuk chip. Chip adalah gubal berbentuk tak beraturan dengan panjang bervariasi 10-15 cm berdiameter 4-6 cm. Aroma kuat dan tajam menyebabkan chip dipilih sebagai bahan baku pengharum. Ini permintaan pasar Timur Tengah.
Menurut H. Faisal Bagis, pemilik CV Agung Perdana, untuk mendapatkan gubal sekarang sulit. Dulu, pada 1998 CV Agung Perdana mengekspor gaharu dengan komposisi: 80% gubal dan 20% kemedangan. Kondisi itu kini berbalik 180 derajat. Dari kuota ekspor 8 ton per tahun, 80% kemedangan dan 20% gubal. ‘Susah kalau terus berharap mendapatkan gubal alam,’ ungkap Faisal.
Tinggal antar
Jika pekebun mampu melewati beragam rintangan mengantongi laba besar bukan angan-angan. Banyak eksportir dan penampung gaharu siap menyerap. Taufik Murad, penampung di Lombok, Nusa Tenggara Barat, rutin menjemput gaharu pekebun melalui kaki tangannya yang berjumlah belasan orang.
Pengelola restoran khas makanan Lombok itu tidak mengolah gaharu itu. Ia langsung mengirimkan 50–100 kg per bulan gaharu ke eksportir langganan di Jakarta dan Surabaya. Taufik memang beroperasi di Nusa Tenggara Barat. Pekebun di luar itu tidak perlu cemas. Masih banyak penampung gaharu. Data Asgarin menyebutkan ada 41 penampung berizin resmi. Mereka tersebar di Jawa, Sumatera, Kalimantan hingga Papua.
Soal harga beli? Menurut Joni Surya meskipun eksportir dan penampung banyak, sebagian besar tidak mau terang-terangan mengekspos harga. Harap mafhum bisnis ini menyangkut nilai uang cukup besar. ‘Perdagangan gaharu persis perdagangan sarang walet sebelum tahun 1990-an. Sifatnya tertutup, standar harga kurang jelas karena keragaman kualitas sangat tinggi,’ ujar ketua Gaharu 88, pelopor penanaman pohon gaharu di Bengkulu.
Yang seringkali terjadi adalah proses tawar-menawar harga yang alot. ‘Gaharu itu dibeli aromanya, jadi tidak bisa tidak perlu dilihat barangnya. Bahkan kalau perlu dites,’ ungkap Taufik. Data Asgarin dapat menjadi acuan. Harga mutu gaharu tertinggi, gubal double super atau super A per kg Rp10-juta-Rp15-juta. Berikutnya gubal super tanggung Rp4-juta-Rp5-juta/kg. Yang terendah disebut teri, rata-rata Rp100.000/kg.
Pekebun tak perlu berkecil hati meskipun sejauh ini paling pol hasil gaharu budidaya sebatas kemedangan yang harga jual di tingkat pekebun Rp500.000-Rp1-juta/kg. Dengan mutu serupa, pekebun-pekebun gaharu budidaya di Vietnam terus menggenjot mutu gaharu lewat berbagai teknologi. Ini bisa ditiru pekebun di tanahair karena bukan mustahil suatu saat gubal super yang harganya top diperoleh dari budidaya relatif singkat. ‘Ini sedang kami teliti di Vietnam,’ kata Prof Robert A Blanchette, periset gaharu dari University of Minnesota Amerika Serikat, melalui surat elektronik.
Pasar terbuka
Menurut ketua Asgarin Dr Faisal Salampessy SH, permintaan terhadap gaharu terus meningkat karena bejibun kegunaannya. ‘Setiap agama di dunia mensyaratkan wangi gaharu yang dibakar sebagai sarana peribadatan. India dan China paling besar menyerap untuk kemenyan,’ kata doktor perencana keuangan Universitas New Delhi di India itu.
Selain agama, pola hidup juga berpengaruh. Di Timur Tengah gaharu menjadi kebutuhan pokok. ‘Masyarakat Arab menggunakan gaharu untuk siwak atau menggosok gigi agar mulut tidak bau. Kondisi iklim panas dan kegemaran mengkonsumsi daging membuat tubuh mereka bau menyengat sehingga gaharu juga dipakai untuk pengharum,’ kata Dr Afdol Tharik Wastono SS MHum, dosen Sastra Arab Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.
Saat ini Indonesia menjadi produsen gaharu terbesar di dunia. Total ekspor gaharu Indonesia ke negara-negara Asia seperti Taiwan mencapai 92.188 kg. Jumlah itu naik dibandingkan 2005 (70.335 kg) dan 2004 (32.365 kg). Mayoritas yang diekspor kemedangan. Untuk pasar Timur Tengah terjadi penurunan ekspor: 2006 (39.400 kg), 2005 (67.245 kg). Musababnya mereka ingin gubal super yang sulit diperoleh.
Sebab itu yang mengeluh kekurangan bahan baku bukan cuma Taufik Murad. CV Ama Ina Rua, eksportir di Jakarta juga kekurangan pasokan gaharu. Menurut Faisal Salampessy, direktur, berapa pun produksi akan diserap. Perusahaan yang berdiri pada 2000 itu kini hanya mengekspor 2-3 ton dari semula 5,6 ton per bulan gaharu ke Singapura.
Menurut Joni Surya ke depan gaharu budidaya yang diperjualbelikan. ‘Seberapa lama alam bisa menyediakan gaharu?’ tanyanya. Apalagi di masa mendatang kebutuhan gaharu sebagai aromaterapi dan obat meningkat. Sebagai obat faedahnya antara lain antiasma, antimikroba, serta hepatitis. Itu karena gaharu mengandung 17 senyawa aktif seperti agarospirol, aquilochin, dan noroksoagarofuran.
Substansi aromatik dalam gubal termasuk golongan sesquiterpena yang hingga kini belum dapat dibuat sintetisnya. Baru-baru ini sebuah perusahaan parfum terbesar di Jerman mengundang para peneliti tanahair melakukan uji DNA untuk mengetahui pencetus aroma gaharu. ‘Mereka berkepentingan karena selama ini tidak pernah kebagian bahan baku yang selalu habis terserap pasar Timur Tengah,’ ungkap Dr Teuku Tadjuddin, kepala seksi Bioteknologi Puspiptek Serpong di Tangerang.
Pantas jika penanaman gaharu terus meluas. Apalagi harga jual terus melambung. Jika pada 2001 gaharu super per kg Rp4-juta-Rp5-juta, saat ini Rp10-juta-Rp15-juta. Demikian pula harga gubal kelas AB yang cuma Rp2-juta-Rp3-juta, saat ini Rp4-juta-Rp5-juta per kg.
Gaharu 88 di Bengkulu mengkoordinir 42 kelompok tani untuk penanaman gaharu hingga 95.000 pohon. Begitu juga Asgarin yang mewajibkan setiap anggotanya menanam minimal 2 hektar gaharu. H Mahmuddin memilih bermitra dengan para pekebun. Setiap tahun Mahmuddin memperluas lahan penanaman rata-rata 5-10 hektar. Laba besar yang didapat menjadi daya tarik pekebun.
Dengan niat konservarsi Universitas Mataram (Unram) melalui Gaharu Center mengkampanyekan penanaman gaharu. Salah satunya menghijaukan hutan lindung di Desa Senaru, Kecamatan Bayan, Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat. Dari lahan seluas 225 hektar, 132 hektar di antaranya sudah ditanami lebih dari 100.000 pohon gaharu. ‘Gaharunisasi ini juga dilakukan di kampus,’ ujar Dr Sudirman, dekan Fakultas Pertanian Unram. Jika bisnis dan konservasi sudah bisa sejalan seia sekata, apalagi yang harus tunggu? Sebagaimana pepatah, Ah sudah gaharu cendana pula, sudah tahu bertanya pula. http://www.petaniindonesia.com/2009/01/19/gaharu/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar