Nama gaharu mungkin sudah cukup lama akrab di telinga sebagian masyarakat Indonesia. Salah satu buktinya, pepatah Melayu yang berbunyi: sudah cendana gaharu pula. Meski demikian, hingga kini belum banyak yang tahu bahwa gaharu bisa dibudidayakan dan nilainya, selangit.
Semula niat Abdulqodir Hadi Mustofa menanam 39 bibit gaharu di sela-sela pohon karet amat sederhana: cuma ingin mengambil kulit batang yang kuat. Ia ingin memanfaatkannya sebagai tali tas pengangkut getah karet. Namun atas saran kerabat ia memasukkan cairan cendawan Fusarium sp di 3 lubang.
Dua tahun kemudian pada Oktober 2008, Abdulqodir menebang sebatang pohon itu dan memperoleh 300 kg kemedangan (semacam getah damar). Tanpa dia sangka-sangka, kemedangan diperolehnya itu laku dijual seharga Rp 300 ribu per kg. Dari 100 kg saja kemedangan yang terjual, pria 50 berusia tahun itu mampu memperoleh pendapatan Rp 30 juta.
Fusarium sp yang diinokulasi atau disuntikkan Abdulqodir ke jaringan pohon itu sebetulnya kuman penyebab penyakit untuk pohon spesies tertentu. Oleh karena itu pohon yang disuntik tersebut, melawan dengan memproduksi getah resin bernama fitoaleksin supaya kuman tak menyebar ke seluruh jaringan pohon. Seiring waktu, getah resin itu mengeras di sudut-sudut pembuluh xylem dan floem – organ pohon yang mendistribusikan makanan – membentuk gumpalan berwarna kecokelatan, serta harum bila dibakar. Itulah kemedangan yang dipanen oleh Abdulqodir, pekebun di Kotabaru, Provinsi Jambi.
Andai waktu inokulasi lebih lama, 2-4 tahun, kemedangan yang semula kecokelatan itu berubah warna menjadi kehitaman dan lebih harum lantaran kadar resin lebih tinggi. Itulah yang disebut gubal gaharu, atau sering disebut dengan ‘gaharu’ saja. Melalui metode penyulingan, gaharu umumnya dimanfaatkan sebagai pewangi. Saat ini, harga gaharu di pasaran berkisar antara Rp 5 juta-Rp 30 juta per kg, tergantung tinggi rendah kadar resinnya. Bahkan gaharu kualitas super atau kategori paling bagus, harganya bisa menembus angka Rp 50 juta per kg.
Karena itu, tak mengherankan bila Abdulqodir berencana membiarkan selama beberapa tahun, 38 batang pohon gaharu miliknya yang sudah terinokulasi cairan cendawan Fusarium sp. Dengan demikian, maka Abdulqodir bak menyimpan harta karun. Bayangkan, sebuah pohon berumur 15 tahun seperti milik Abdulqodir bakal menghasilkan rata-rata 1 kg gubal gaharu. Hanya dengan kualitas terendah dan harga termurah per kg Rp 5 juta, maka omzetnya dapat mencapai Rp190 juta.
Gaharu yang memberi pendapatan tidak kecil pada Abdulqodir, memang bukan nama pohon, tetapi resin yang dihasilkan dari pohon genus tertentu. Hanya saja, untuk mudahnya, masyarakat menyebut setiap pohon yang dapat menghasilkan kemedangan atau gubal gaharu, sebagai pohon gaharu.
Peluang Besar
Ketua Asgarin (Asosiasi Pengusaha Eksportir Gaharu Indonesia) Dr Faisal Salampessy SH mengungkapkan, permintaan terhadap gaharu terus meningkat karena bejibun kegunaannya. “Beberapa agama di dunia mensyaratkan wangi gaharu yang dibakar sebagai sarana peribadatan. India dan China paling besar menyerap untuk kemenyan,” kata doktor perencana keuangan dari Universitas New Delhi di India itu.
Selain agama, pola hidup juga berpengaruh. Di Timur Tengah gaharu menjadi kebutuhan pokok. “Masyarakat Arab menggunakan gaharu untuk siwak atau menggosok gigi agar mulut tidak bau. Kondisi iklim panas dan kegemaran mengkonsumsi daging membuat tubuh mereka bau menyengat sehingga gaharu juga dipakai untuk pengharum,” kata Dr Afdol Tharik Wastono SS MHum, dosen Sastra Arab Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.
Saat ini Indonesia menjadi produsen gaharu terbesar di dunia. Total ekspor gaharu Indonesia ke negara-negara Asia seperti Taiwan mencapai 92.188 kg. Jumlah itu naik dibandingkan 2005 (70.335 kg) dan 2004 (32.365 kg). Mayoritas yang diekspor kemedangan. Untuk pasar Timur Tengah terjadi penurunan ekspor: 2006 (39.400 kg), 2005 (67.245 kg). Musababnya mereka ingin gubal super yang sulit diperoleh.
Sebab itu yang mengeluh kekurangan bahan baku bukan cuma Taufik Murad. CV Ama Ina Rua, eksportir di Jakarta juga kekurangan pasokan gaharu. Menurut Faisal Salampessy, direktur, berapa pun produksi akan diserap. Perusahaan yang berdiri pada 2000 itu kini hanya mengekspor 2-3 ton dari semula 5,6 ton per bulan gaharu ke Singapura.
Menurut Joni Surya ke depan gaharu budidaya lah yang banyak diperjualbelikan. “Seberapa lama alam bisa menyediakan gaharu?” tanyanya. Apalagi di masa mendatang kebutuhan gaharu sebagai aromaterapi dan obat meningkat. Sebagai obat faedahnya antara lain antiasma, anti-mikroba, serta hepatitis. Itu karena gaharu mengandung 17 senyawa aktif seperti agarospirol,aquilochin, dan noroksoagarofuran.
Substansi aromatik dalam gubal termasuk golongansesquiterpena yang hingga kini belum dapat dibuat sintetisnya. Baru-baru ini sebuah perusahaan parfum terbesar di Jerman mengundang para peneliti tanahair melakukan uji DNA untuk mengetahui pencetus aroma gaharu. ‘Mereka berkepentingan karena selama ini tidak pernah kebagian bahan baku yang selalu habis terserap pasar Timur Tengah,’ ungkap Dr Teuku Tadjuddin, kepala seksi Bioteknologi Puspiptek Serpong di Tangerang.
Pantas jika penanaman gaharu terus meluas. Apalagi harga jual terus melambung. Jika pada 2001 per kg gaharu super harganya Rp 4 juta-Rp 5 juta, saat ini sudah mencapai Rp10 juta-Rp 50 juta. Demikian pula harga gubal kelas AB yang cuma Rp 2 juta-Rp 3 juta per kg, saat ini telah tembus Rp 4 juta-Rp 5 juta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar